Bambang Sutiyoso

Perkembangan HAM Indonesia

Posted on: Agustus 21, 2008

PERKEMBANGAN DAN PENEGAKAN HAK ASASI

MANUSIA (HAM) DI INDONESIA

 

Oleh : Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.[1]

 

ABSTRACT

Pada saat ini HAM telah menjadi issue global, yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.

 

A. Pendahuluan

Istilah hak-hak asasi manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai berikut : droit de l’home (Perancis) yang berarti hak manusia, human right (Inggris) antau mensen rechten (Belanda), yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.[2]

Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan karunia Alloh Yang Maha Pencipta kepada hambanya. Mengingat HAM itu adalah karunia Alloh, maka tidak ada badan apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh membelenggunya.[3]

Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.[4]

Dalam perspektif sejarah hukum, setiap ada penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap perampasan, perkosaan dan pemanipulasian HAM oleh manusia satu kepada manusia yang lain atau oleh penguasa kepada rakyatnya akan selalu muncul krisis kemanusiaan. Bahkan kemudian memunculkan formula-formula atau dokumen-dokumen resmi hak-hak asasi manusia atau sumber hukum yang memberi hak bagi bagi rakyat. Misalnya dokumen Magna Charta di Inggris tajhun 1215 yang memberikan hak-hak bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan raja. Kemudian dokumen The Virginia Bill of Rights dan declarations of Independence yang melahirkan kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776, yang berisi jaminan kebebasan Individu terhadap kekuasaan negara. Begitu pula dokumen Declarations des Droites L’Home et Du Cituyen di Prancis tahun 1789 yang berprinsip bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik dan karenanya harus hidup bebas dan bersamaan kedudukannya dalam hukum. Di Rusia tahun 1918, juga muncul suatu dokumen yang menyebut hak-hak dasar sosial, tetapi hak-hak dasar individu tidak disebut sama sekali. Selanjutnya dokumen Declarations of Human Rights tahun 1948 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjamin hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak-hak kebebasan politik.

Secara filosofis berbagai dokumen hak-hak asasi manusia tersebut terlihat adanya perbedaan muatan nilai dan orientasi. Di Inggris menekankan pada pembatasan kekuasaan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan hukum, di Rusia tidak diperkenalkan hak individu tetapi hanya mengakui hak sosial. Sementara itu Perserikatan Bangsa-Bangsa merangkum berbagai nilai dan orientasi karena Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia di badan dunia ini sebagai kesepakatan berbagai negara setelah mengalami revolusi Perang Dunia II, yang menelorkan pengakuan prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan demokrasi sebagaimana diformulasikan dalam preambule Atlantik Charter 1945.[5]

Dokumen dan kesaksian sejarah tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi krisis hak asasi manusia selalu muncul revolusi atau gejolak sosial. Seperti halnya krisis hak asasi manusia di negara-negara komunis tahun 1990 yang menghancurkan tembok Berlin dan penghancuran patung-patung tokoh mereka yang sebelumnya dipuja-puja. Rangkaian kesaksian sejarah tersebut menunjukkan bahwa hak asasi manusia merupakan konstitusi kehidupan, karena hak asasi manusia merupakan  prasarat yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia dan merupakan bekal bagi setiap insan untuk dapat hidup sesuai fitrah kemanusiaannya.

Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara  mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup bangsanya, meskipun demikian sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasarnya sama juga. Dalam konteks itulah, tulisan berikut ini akan mengungkapkan beberapa konsepsi dan model pelaksanaan HAM, yaitu di negara-negara Barat yang sebagian besar menganut paham liberal kapitalis dan negara-negara pengikut aliran komunis-sosialis serta konsepsi dan model HAM menurut ajaran Islam. Ketiga sistem ini dapat dianggap mewakili berbagai konsepsi HAM yang ada, mengingat sebagian besar dari mereka berkiblat dan mengacu salah satu dari ketiga sistem tersebut. Selain itu dikemukakan  pula tentang HAM dan implementasinya di Indonesia, dengan mengupas  seputar  perkembangan dan penegakkan HAM  di Indonesia.  

 

 

B. Konsepsi dan Model Pelaksanaan HAM

Seperti diketahui, bahwa HAM itu adalah bersifat universal. Namun demikian pelaksanaan HAM tidak mungkin disamaratakan antara satu negara dengan negara yang lain. Masing-masing negara tentu mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya. Di samping itu pengalaman sejarah dan perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi  HAM itu dilaksanakan. Keuniversalan HAM dewasa ini masih mengundang  perdebatan dan perbedaan dalam praktek penerapannya di antara masing-masing anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam perspektif filsafat hukum atau ideologi yang melatarbelakangi norma hukum atau negara yang bersangkutan.

Pengakuan dan potret pelaksanaan HAM di negara komunis dapat dilihat dari watak aturan hukumnya yang tidak memberi tempat adanya hubungan hukum privat, karena segala sesuatu dianggap dari masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Semua hukum menjadi administrasi kebijakan penguasa, karena itu hukum harus mengabdi kepada politik partai. Demikian pula pengadilan harus tunduk pada pengawasan kekuasaan poliitik partai. Kondisi demikian antara lain tergambar dalam buku The Gulag Archipelago, karangan Alexander Solshenitsyn yang melukiskan tentang pelecehan HAM di Rusia, di mana hukum sebagai alat kekuasaan dan pengadilan dilakukan dibelakang pintu tertutup. Hal serupa juga terjadi pada Fascis dan Nazi yang menonjolkan despotisme, di mana dalam diri negara merupakan hukum, yaitu legitimasi nafsu penguasa untuk menguasai dan mendominasi hak asasi rakyat. Sedangkan konsepsi dan pemberlakuan HAM di negara liberal kapitalis dapat dilihat dari karakter aturan hukumnya yang berakar pada filsafat individualisme-utilitarian. Tujuan filsafat ini adalah emansipasi individu  dan orientasinya adalah menambah kesenangan individu. Hukum yang dianggap baik adalah hukum hukum yang memanjakan kebebasan bagi setiap individu dan memacu agar setiap individu mengejar apa yang dianggap baik bagi dirinya. Dan falsafah ini pula yang menjadi akar dari prinsip “Laissez Faire” dalam dunia perekonomian dewasa ini. Perekonomian dunia didorong mengarah pada mekanisme persaingan bebas yang diyakini akan menghasilkan kebahagiaan yang maksimal bagi setiap individu. [6]

Terhadap konsepsi dan praktek-praktek di atas, seorang filosof muslim, Dr. Mohammad Iqbal (1873-1938) pernah mengemukakan bahwa baik kapitalisme Barat dan sosialisme Marxis, pada asasnya berdasarklan nilai-nilai kebendaan dari kehidupan serta kosong dari warisan rukhaniyah. Sosialisme Karl Marx sebagai suatu rencana yang berdasarkan kesamaan perut (equality of stomach) dan bukan kesamaan ruh. Demikian juga kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan rasionalisme dilukiskan sebagai kegemukan jasad.[7]

Pada saat yang sama, sudah masanya PBB sebagai badan dunia mengevaluasi konsep dasar HAM yang dipakainya serta praktek pelaksanaannya agar eksistensi keberadaannya tidak kehilangan relevansi sosio humanisnya. Konsep HAM PBB yang hanya menonjolkan hak dan tanpa kewajiban asasi, perlu dipertanyakan secara kritis dalam hubungannya dengan banyaknya benturan dan konflik HAM yang banyak memakan korban jiwa dan martabat manusia, baik secara sistemik misalnya agresi suatu negara terhadap negara lain, maupun secara evolutif misalnya munculnya euthanasia, aborsi dan lain sejenisnya.

Konsep dan prototype realisasi kewajiban asasi dan HAM yang dilandasi nilai-nilai yang sempurna telah dicontohkan secara faktual oleh segala bangsa di dunia, yaitu setiap tanggal 10 Dzulhijjah di kota Makkah atau saat pelaksanaan ibadah haji. Di mana segala bangsa di dunia berkumpul dengan tujuan yang sama, pakaian yang sama, merasa berkedudukan yang sama dan hanya tunduk kepada kekuasaan Alloh Yang Maha Esa. Namun tampaknya PBB belum rela secara resmi untuk menarik kesimpulan dan mengambil esensi konsep yang mendasari konstruksi hubungan kemanusiaan dan sosial yang harmonis di kota Makkah itu.

Sebenarnya itulah yang perlu ditelaah sekarang oleh masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia karena konsepsi dan fakta-fakta pelaksanaannya terbukti merupakan perwujudan dari suatu konstitusi kehidupan manusia yang diajarkan dan dicontohkan oleh seorang pemimpin masyarakat bangsa, pembela dan pengangkat martabat manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW (571-633). Arah dan dan landasan pembinaan martabat dan hak-hak kemanusiaannya mempunyai kejelasan serta keharmonisan antara kewajiban asasi dan hak asasi, antara hak individu dan hak masyarakat. Lebih dari itu, karena berdasarkan kepastian rokhani yang mampu memaknaartikan tujuan hidup manusia, yaitu pengabdian kepada Alloh SWT.

Bertitik tolak dari konsepsi Islam tersebut pulalah lebih jauh Dr. Mohammad  Iqbal mengemukakan bahwa Islam pada hakekatnya adalah tauhid. Inti dari tauhid adalah working idea dan cita yang fa’al inilah membuahkan Keesaan-Irtibad dan kemerdekaan. Islam memberikan beberapa  asas nyata seperti demokrasi dan kemerdekaan. Kemerdekaan pikiran dan menyatakan pendapat, kemerdekaan beragama, keesaan, toleransi, keadilan sosial dan lain sebagainya. Bersamaan dengan hak-hak manusia yang asasi ini, Islam juga menetapkan beberapa kewajiban manusia yang asasi untuk mencapai kesejahteraan hidup berjamaah bagi seluruh umat manusia.[8]

Seorang guru besar hukum dari Monash University, bernama Christopher G. Weermantry, dalam seminar internasional tentang HAM di Jenewa bulan Desember 1988, seperti dikutip Marjono Reksodiputro[9], secara jujur mengatakan : “Ajaran Islam datang jauh lebih dahulu daripada negara Barat, yang inti ajarannya tentang HAM menyatakan bahwa bahwa hak-hak dasar tidak dapat dicabut dan para penguasa melaksanakan kekuasaanya atas dasar kepercayaan dan hanya sepanjang kehormatan penguasa itu benar. Prinsip-prinsip ini merupakan inti dari teori politik Islam, di mana enam ratus tahun sebelum John Locke mengemukakan teorinya di Barat”.

Kesadaran untuk menegakkan HAM, sebagaimana diisyaratkan dalam Islam bahwa memperjuangkan dan menikmati hak asasi adalah merupakan kewajiban yang suci, seperti ditegaskan dalam Al Qur’an Surat Al-Qashash : 77 yang artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri Akherat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan (kenikmatan, hak-hak) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Alloh telah berbuat  baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Di samping itu masih banyak ayat-ayat lain yang mengungkapkan perlunya menegakkan HAM dan martabatnya, eperti yang tertcantum dalam Q.S. Asy-Syura : 39, QS. Ali Imran : 171, QS. An-Nahl : 110, QS. An-Nisa : 97, QS. Ali Imran : 135, QS. An-Nisa : 107 dan sebagainya.

Hak asasi dalam perspektif Islam, terdapat dalam setiap sektor kehidupan, serta memiliki posisi strategis dalam menegakkan dan meningkatkan kulaitas kemanusiaan. Bahkan interrelasi antara hak asasi dan kewajiban asasi antara lain dapat ditunjukkan mempunyai nilai keutamaan ahlak, apabila dilakukan dengan cara menegakkan keadilan atau menyampaikan perkataan yang benar dihadapan penguasa yang menyeleweng. Dalam hubungan ini terlihat bahwa proses penegakkan hukum dan keadilan menuntut adanya spirit amar ma’ruf nahi mungkar. Nilai kejuangan dalam penegakkan hukum dan keadilan, antara lain karena di dalamnya banyak godaan dan tantangan serta menuntut pengorbanan serta keikhlasan sikap dalam rangka melindungi hak asasi manusia.[10]

Kewajiban asasi manusia menjadi prasarat utama agar dalam menjalankan hidup dan kehidupannya memiliki keseimbangan dan ketenangan jiwa serta menjadikan hidupnya bermakna bagi dirinya sendiri, keluarganya, lingkungannya serta masa depannya. Hubungan erat  antara kewajiban asasi dan hak asasi, menunjukkan adanya kesempatan pemberian bagi individu dalam sikapnya, masyarakat dalam tradisinya, negara atau kelompok negara dalam budaya hukumnya.

Hubungan korelasi etis antara kewajiban asasi dengan hak asasi, menuntut konsistensi sikap agar seseorang, masyarakat atau bangsa tidak berat sebelah dalam melakukan peran diri dan hubungan sosialnya, karena pada dasarnya seseorang, masyarakat atau bangsa tidak dapat hidup dengan baik dan benar, kalau hanya melakukan atau menuntut  hak asasinya saja tanpa melakukan kewajiban asasi secara seimbang. Bahkan dalam konsepsi Islam, kewajiban asasi menjadi keutamaan moral untuk didahulukan dibandingkan dengan hak asasi itu sendiri.

 

C. Perkembangan HAM  di Indonesia

Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.

Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.[11]

Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.[12] 

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.[13] Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.[14]

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.[15]

Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.[16]

Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.[17]

            Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan[18]

            Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.

Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.[19] Undang-Undang ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

            Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.

Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain [20]:

a.       Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.

b.      Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.

c.       Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.

d.      Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

e.      Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.

f.         Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.

 

D. Penegakan HAM di Indonesia

Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,  regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.

Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.[21]

Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM.[22]

Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide (the crime of genocide) dan  kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama, dengan cara : a. membunuh anggota kelompok ; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok ; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya ; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok ; e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.[23] Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik  yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid[24].

Seperti diketahui, di Indonesia telah terjadi banyak kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, terutama kasus kekerasan struktural yang melibatkan aparat negara (polisi dan militer) dengan akibat jatuhnya korban dari kalangan penduduk sipil. Di antara sederetan kasus yang mendapat sorotan tajam dunia internasional, adalah  kasus DOM di Aceh, Tanjung Priuk, Timor-Timur pasca jejak pendapat, tragedi Santa Cruz, Liquisa, Semanggi dan Trisakti . Pelanggaran-pelanggaran tersebut dinilai cukup serius dan bukanlah sebagai kejahatan biasa, tetapi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).[25]

Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah melahirkan kesadaran kolektif tentang perlunya perlindungan HAM melalui instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung  unsur adanya pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat  untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum.  Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

 

E. Kesimpulan

            HAM adalah persoalan yang bersifat universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Setiap negara mempunyai sejarah perjuangan dan perkembangan HAM yang berbeda, oleh karena itu konsepsi dan implementasi HAM dari suatu negara tidak dapat disamaratakan. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM, dan Islam telah memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai masalah ini.

            Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.

Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahadian, Ridwan Indra,  Hak  Asasi Manusia dalam UUD 1945, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1991.

 

Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD’ 45 alam Paradigma Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

 

Alkostar, Artidjo, Hak  Asasi  Manusia dalam  Perspektif  Penegakkan Hukum Dewasa Ini,  Makalah dalam  rangka Dies Natalis UII ke 51, Yogyakarta, 1994.

 

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat  Hukum , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

 

Luthan, Salman, Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan Dengan Hukum  Pidana Nasional, makalah seminar nasional kerjasama Departemen Hukum Internasional FH UII dengan ELSAM, Yogyakarta, 1995.

 

Mahfud, Mohammad, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

 

Natsir, Mohammad,  Dapatkah Dipisahkan Politik dan Agama?, Mutiara, Jakarta, 1953.

 

Sugianto, Djoko,  Hak Asasi Manusia dan Peradilan HAM, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001.

 

Sugondo, Lies, Perkembangan Pelaksanaan HAM di Indonesia, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001.

 

Suryokusumo, Sumaryo,  Prosedur Penyelesaian Konflik dalam Kerangka Pelanggaran Hak  Asasi Manusia, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001.

 


[1] Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta

[2] Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD’ 45 dalam Paradigma Reformasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.  83.

[3] Pengertian yang hampir sama juga dinyatakan dalam Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang diuraikan dalam lampiran ketetapan ini berupa naskah Hak Asasi Manusia pada angka I huruf D butir 1 menyebutkan : “Hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia”. Selanjut nya dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan : “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

[4] Salman Luthan, Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan Dengan Hukum  Pidana Nasional, makalah seminar nasional kerjasama Departemen Hukum Internasional FH UII dengan ELSAM, Yogyakarta, 1995.

[5] Artidjo Alkostar, Hak  Asasi  Manusia dalam  Perspektif  Penegakkan Hukum Dewasa Ini,  Makalah dalam  rangka Dies Natalis UII ke 51, Yogyakarta, 1994, hlm. 3 .

[6] Artidjo Alkostar, Ibid, hlm. 4.

[7]Moh. Natsir, Dapatkah Dipisahkan Politik dan Agama?, Mutiara, Jakarta, 1953, hlm. 19.

[8] Ibid., hlm. 22.

[9] Lihat  Artidjo Alkostar, Op.Cit., hlm. 11.

 

[10] Ibid., hlm. 16-17.

[11] Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 90.

[12] Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 110.

[13] Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 95.

[14] Ridwan Indra Ahadian, Hak  Asasi Manusia dalam UUD 1945, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1991, hlm. 15.

[15] Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 95.

[16] Ibid., hlm. 96.

[17]Lies Sugondo, Perkembangan Pelaksanaan HAM di Indonesia, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001, hlm. 129.

[18]Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat  Hukum , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 164.

 

[19] Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 98.

[20] Lies sugondo, Op. Cit., hlm. 146.

[21] Ibid.

[22]Djoko Sugianto, Hak Asasi Manusia dan Peradilan HAM, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001, hlm. 119.

[23] Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000

[24] Pasal 9 UU No. 26 Thun 2000

[25] Sumaryo Suryokusumo, Prosedur Penyelesaian Konflik dalam Kerangka Pelanggaran Hak  Asasi Manusia, Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Puslitbang Diklat  MARI, 2001,  hlm. 303.

Tinggalkan komentar

Laman

Agustus 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Blog Stats

  • 24.916 hits

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Flickr Photos